Saksi Ahli Mengatakan Kasus Pencegahan Imigrasi terhadap Dr. Ike Farida Tidak Sah Demi Hukum

Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra Saksi Ahli.

Jakarta, Koran Lacak – Sidang lanjutan kasus pencegahan imigrasi tergugat Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi terhadap penggugat Dr. Ike Farida berjalan dengan baik di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur (11/7/2024). Kali ini, tim kuasa hukum Dr. Ike menghadirkan Ahli Tata Usaha Negara sekaligus Pemohon Uji Materil pada Mahkamah Konstitusi yang diputus dalam Putusan MK No. 64 Tahun 2011, yakni Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, sebagai saksi ahli. 

Dalam sidang dengan agenda untuk Mendengarkan Keterangan Ahli, Prof. Dr. Yusril menegaskan bahwa proses pencegahan dalam perkara ini dianggap tidak sejalan dengan ketentuan yang ada. “Pencegahan seseorang berpergian ke luar negeri diatur dalam UU No. 6 Tahun 2011 dan Putusan MK No. 64/2011. Terkait putusan MK, kebetulan saya sendiri yang memohon pengujiannya. Jadi, intinya, seseorang tak dapat dicegah lebih dari dua kali. Pencegahan itu paling lama 6 bulan, dan dapat diperpanjang enam bulan juga,” jelasnya di hadapan awak media. 

Bertentangan dengan Putusan MK No. 64 Tahun 2011 dan UU No. 6 Tahun 2011 tentang Imigrasi, Dirjen Imigrasi melakukan pencegahan yang ke-3 terhadap Dr. Ike dengan total masa pencegahan melebihi 12 bulan. Dr. Ike sendiri telah mendapatkan Surat Cegah untuk waktu 2 bulan, dilanjutkan dengan Surat Cegah selama 6 bulan, lalu diperpanjang lagi selama 6 bulan. 

“Kewenangan pencegahan ada di Dirjen Imigrasi. Jadi, meskipun Polri, Kejaksaan, atau siapa pun memohon agar seseorang dicegah dari berpergian ke luar negeri, kewenangan untuk menilai layak atau tidaknya pencegahan tersebut tetap ada di tangan Dirjen Imigrasi. Lagipula, 8 hasil putusan peradilan kasus perdata Dr. Ike sebelumnya sudah berkekuatan hukum tetap, maka Dr. Ike tidak boleh lagi dipidanakan,” tutupnya.

Melirik pada perkara yang terjadi, berdasarkan Putusan Mahkamah Agung RI bahwa Dr. Ike hanyalah merupakan konsumen yang beritikad baik yang, dibuktikan dengan pembayaran lunas unit Apartemen Casa Grande.  Namun, PT Elite Prima Hutama (EPH) enggan memberikan unit tersebut dengan alasan bahwa suami Dr. Ike berstatus WNA padahal Badan Pertanahan Nasional dan Putusan Mahkamah Konstitusi membenarkan apa yang dilakukan oleh Dr. Ike. Selaku kuasa hukum, Kamaruddin Simanjuntak, menjelaskan secara tegas bahwa Dr. Ike adalah pemilik sah properti Apartemen Casa Grande yang menang sesuai dengan Putusan Peninjauan Kembali No. 53/Pdt/2021, di mana telah dilakukan eksekusi permintaan surat akta jual beli apartemen tersebut. “Sebagai pemilik yang sah, seharusnya bukan hanya kuncinya saja yang diberikan kepada kliennya. Oleh karena itu, kami akan gugat jika kemudian PT EPH tidak memberikannya.” tegasnya (27/10/2023).

Agustrias Andhika, selaku kuasa hukum Dr. Ike, juga mengemukakan hal yang sama. Ia menyampaikan apa yang disampaikan saksi ahli dalam persidangan terkait penetapan Dr. Ike sebagai tersangka. “Di dalam persidangan, hakim mempertanyakan bagaimana penetapan seseorang menjadi tersangka berdasarkan keputusan yang berbadan tetap, Prof. Dr. Yusril kemudian mengatakan bahwa dalam konteks perkara ini, hasil putusan pengadilan sudah berkekuatan hukum, sehingga Dr. Ike tidak dapat dipidanakan.”

Agustrias menilai bahwa proses penyidikan tidak dilakukan secara prosedural. Terlebih, sumpah palsu tidak pernah diujarkan kliennya, baik secara langsung maupun melalui pemberian surat kuasa terhadap pihak lain. Sayangnya, Dirgen Imigrasi tidak meninjau hal tersebut secara komprehensif. 

Sidang lanjutan ini adalah buntut dari dirugikannya Dr. Ike akibat kelalaian dalam proses penyelidikan, penyidikan yang dilakukan oleh oknum Kepolisian. Lebih jelas Dr. Ike telah dituduh memberikan sumpah palsu yang menyebabkannya ditetapkan sebagai tersangka dan dicegah berpergian ke luar negeri. Kuasa hukum Dr. Ike menilai bahwa pencegahan tersebut tidak berdasar. Apalagi, kliennya tidak pernah bersumpah terkait novum yang dituduhkan. 

Selanjutnya, ia juga menjelaskan bahwa penetapan status tersangka kepada kliennya adalah tidak sah. Hal tersebut didasarkan pada regulasi yang berlaku. “Penetapan Dr. Ike sebagai tersangka adalah tidak berdasar. Di samping itu, karena terdapat putusan pengadilan yang berbadan hukum tetap, maka perkara terhadap Dr. Ike harus dibatalkan dan tidak dianggap sah.” 

Sebagai penutup, perkara ini perlu menjadi perhatian masyarakat luas, karena berkaitan erat dengan hak asasi seseorang dan akurasi dalam pelaksanaan Due Process of Law di Indonesia. (Patrick)

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *