Koranlacak.com- BEKASI,
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lembaga Swadaya Masyarakat Indonesia Corruption Care (LSM ICC) James Lumban Siantar meminta Komisi Kejaksaan (Komjak) Republik Indonesia supaya mengeksaminasi kinerja Tim Pengawal Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) Kejaksaan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selaku lembaga supervisi juga harus ikut mengawasi kinerja TP4D tersebut.
“Memaksimalkan pengawasan terhadap kinerja TP4D kejaksaan sangat mendesak dilakukan karena jika diperhatikan, tim ini justru terindikasi kuat menciptakan korupsi modus baru.
Implementasi pembentukan TP4D sudah tidak sesuai roh yang diamanatkan Inpres No 7 Tahun 2015 dan Surat Keputusan Jaksa Agung No.KEP-152/A/JA/10/2015 tentang Tupoksi TP4D,” papar Bntang, Kamsi (11/10/2018).
Satuan kerja ini menurut James, harus benar-benar dikontrol apakah efektif atau tidak. Ini tidak akan bisa diketahui jika tidak dilakukan uji petik.
“Kita khawatir TP4D berkolaborasi dengan kontraktor bersama pejabat menciptakan korupsi modus baru,” tutur dia.
Fungsi TP4D, adalah mengawal proyek-proyek strategis nasional tetapi fakta di lapangan proyek APBD yang bersifat rutin yang anggarannya miliaran rupiah juga didampingi.
“Ini tentu akan jadi rancu, mana proyek strategis nasional yang perlu didampingi dan mana jenis proyek non strategis yang tidak perlu pendampingan,” ucapnya.
Dikatakannya, menurut yang kita baca muatan Inpres dan Keputusan Jaksa Agung tentang pembentukan TP4D tersebut, TP4D Kejaksaan berfungsi sejak perencanaan, pelelangan supaya proyek strategis nasional bisa berjalan tanpa hambatan yang berarti.
Artinya, administrasi pun masuk ranah TP4D. Ternyata ketika dugaan penyimpangan administrasi dilaporkan ke TP4D Kejaksaan. “Kejaksaan berdalih masalah administrasi bukan ranah mereka, jadi yang benar itu seperti apa,” terang James.
Padahal lanjut James, keputusan yang disusul Instruksi Jaksa Agung No INS-001/A/JA/10/2015 itu bertujuan agar Kejaksaan Tinggi, Kejari segera membentuk TP4D sebagai implementasi Inspres No 7 Tahun 2015 tentang aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Keputusan ini dititikberatkan mencegah terjadinya penyimpangan yang berpotensi menghambat, menggagalkan dan menimbulkan kerugian negara.
Namun inplementasi keputusan Jaksa Agung tersebut, terindikasi membuka peluang korupsi modus baru. Cukup beralasan jika informasi yang menyebut biaya operasional TP4D Kejaksaan tidak ada dalam daftar isian pelaksanaan aggaran (DIPA) kejaksaan. Padahal anggaran yang musti dikeluarkan saat pendampingan lumayan besar.
Keputusan Jaksa Agung tersebut, TP4D befungsi memberikan pendampingan hukum dalam tahapan program pembangunan dari awal sampai akhir. Melakukan koordinasi dengan aparat pengawasan internal pemerintah untuk mencegah terjadinya penyimpangan yang berpotensi menghambat, menggagalkan dan menimbulkan kerugian keuangan negara.
Bersama-sama dengan Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) melakukan monitoring dan evaluasi pekerjaan dan program pemerintah. Melaksanakan penegakan hukum represif ketika ditemukan bukti permulaan yang cukup setelah dilakukan koordinasi dengan APIP telah terjadi perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan dan/atau perbuatan lainnya yang berakibat menimbulkan kerugian negara.
Ternyata fakta di lapangan berbeda ibarat panggang jauh dari api. Alasannya, sejumlah proyek yang didampingi TP4D Kejaksaan yang diduga bermaslah, baik dari sisi administrasi dan fisik penegakan hukum tidak berjalan.
“Misalnya di Kejaksaan Negeri Kota Bekasi, segudang dokumen laporan lembaga swadaya masyarakat (LSM) kaitan proyek bermasalah yang didampingi TP4D. Baik secara fisik, administrasi, namun tidak satupun yang jelas penanganannya,” katanya. (Banggas/R2)